Tomanurung dari Bambapuang
Beberapa kerajaan di Sulawesi selatan dimasa silam umunya mengenal
istilah Tomanurung sebagai orang yang dimitoskan berasal dari langit.
dalam lontara Enrekang Masenrenpulu misalnya, Tomanurung di Bambapuang
yang memerintah dan bersemayam di Puncak Gunung Bambapuang. zaman itu
adalah jaman prasejarah, dimana gunung Bambapuang masih merupakan
gunung yang tertinggi di Sulawesi selatan.
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Enrekang, di puncak
Gunung Bambapuang, Dewata menurunkan tiga orang Tumanurung yang diutus
ke bumi dan berkembang menjadi keluarga besar.
Ketiga Tamanurung tersebut masing-masing, Tamanurung Wellangdilangi,
Tamanurung Tamborolangi, dan Tamanurung Embongbulan (wanita).
Suatu hari, ketiganya meminta kepada dewata agar mereka dapat
meninggalkan puncak gunung Bambapuang, sekaligus agar diberi bekal
kehidupan di dunia.. oleh dewata ditetapkan Tamanurung Wellangdilangi
tetap tinggal di puncak gunung Bambapuang dan kepadanya diberikan bekal
untuk hidup di dunia berupa makanan yang cepat basi (Padi). Tumanurung
Wellangdilangi kawin dengan Maccirangka.
Tumanurrung Tamborolangi diberi kesempatan, boleh meninggalkan puncak
Gunung Bambapuang dan memilih menuju negeri Matari' Allo Tanah Toraja (
Makale). Tamanurung Embongbulan (wanita) diberi kesempatan meninggalkan
puncak Gunung Bambapuang dan memilih menyeberangi lautan menuju ke
daerah Kaluppini. disana ia kawin dengan Palippada Fdan inilah yang
menjadi turunan Sawerigading dan Raja-raja di Luwu (Palopo).
Pada masa itu, di kaki Gunung Bambapuang (Kampung Mendatte), masih
merupakan pantai yang bersebrangan dengan Kaluppini. Mengingat
Tumanurung Embongbulan seorang putri, maka oleh dewata diberikan bekal
makanan yang tidak dapat basi Tabaro ( terdapat di Luwu atau Palopo) dan
diberikan pula bekal untuk pemebelaan diri sebagai Ahli Ilmu Sihir.
Adapun
Tumanurung Wellangdilangi yang menetap di Puncak Gunung Bambapuang
kawin dengan Maccirangka. Anak-anak mereka dapat kawin bersaudara dan
ini berlangsung sampai generasi ketujuh.
Setelah generasi ketujuh inilah mereka berkembang menjadi keluarga
besar, maka oleh dewata diberikan ketetntuan sebagai berikut. "Tidak
diperkenankan lagi kawin bersaudara tetapi boleh kawin dengan
sepupuh-sepupuh sekali, apabila terjadi pelanggaran tersebut, maka akan
terjadi musibah, dan Gunung Bambapuang akan Tumbang". Kelak dimana
puncak Gunung Bambapuang tumbang, maka rakyat disana akan tetpa
memengang ALUKTODOLO serta mereka menjadikan negeri kaya. dan ternyata
gungng bambapuang tumbang persis sampai di negeri Matari'allo (Makale
Tana Toraja) yang tetap memegang Aluktodolo sampai sekarang ini.
Peristiwa pemerintahan dewata ini dikenal dengan sumpah :
"Endekan
Tanah Digalla Tanah Dikabusunggi" atrinya: siapa saja yang memerintah
di Enrekang harus bertindak arif dan bijaksana, hidup bersama rakyat dan
apabila melanggar sumpahtersebut, maka ia akan takut, bingung, dan
gelisa dalam menghadapi masa depannya.
Alkisah,
pada generasi ketujuh, terjadi percintaan antara anak raja Dileluwa dan
anak raja di Mendatte daerah pinggiran pantai, karena percintaan mereka
sudah sangat intim sekali, maka disepakati oleh kedua belah pihak
keluarga untuk diadakan perkawinan.
Perkawinan berlangsung di Lurah, dibawah gunung bambapuang selama tujuh
hari tujuh malam dengan pesta yang sangat meriah, sehingga kedua belah
pihak keluarga semua turut bersuka cita.
Pada hari ketujuh, saat pesta perkawinan sudah akan berakhir, kedua
belah pihak keluarga baru mengingat akan pesan Dewata di puncak gunung
bambapuang bahwa perkawinan bersaudara dilarang. Dari penelusuran
silsilah keluarga pengantin tersebut, akhirnya diketahui dengan jelas
bahwa kedua sejoli tersebut ternyata bersaudara satu bapak.
Oleh karena itu, merupakan suatu pelanggaran dari perintah Dewata di
puncak gunung bambapuang,maka tiba-tiba terjadi gempa. turun hujan
deras, ombak besar dilaut disertai gemuruh kilat hal ini berlangsung
selama kurang lebih 40 hari 40 malam.
Pada malam ke 40, Gunung Bambapuang yang menjulang tinggi ke langit itu
tumbang. Puncaknya persis jatuh di negeri Matari'Allo ( Tanah Toraja).
Akibat Pelanggaran tersebut, sehingga kerajaan yang ada di Bambapuang
tenggelam pada waktu itu. sampai sekarang dinamakan kampung Lura, dan di
bambapuang sekarang ini masih terdapat Danau Lurah.
Dalam bahasa Endekan, peristiwa tersebut diperingati dengan istilah " Lettomi Eran Di Langi Talllangmi Landongna Lura".
Ketika Gunung Bambapuang tumbang semua penduduk lari ke negeri
Matari'Alllo (Tanah Toraja). Dalam Perjalanan ketika berlari, penduduk
atau binatang yang menoleh ke belakang melihat ke Gunung Bambapuang
seketika itu pula berubah menjadi Batu. peninggalan tersebut sampai
sekarang masih ada di kampung Kota, yaitu berdekatan dengan kampung
Cakke Sossok.
Penduduk yang lari dan sempat sampai di negeri Matare'Allo (Tanah
Toraja) , mereka tetpa memegang ada Aluktodolo, adat leluhur yang
berasal dari Puncak Gunung Bambapuang dengan melaksanakan acara Rambu
Solo atau pesta kematian, acara ini dilaksanakan secara besar-besaran
dan masih tampak berlangsung sampai saat ini.
Keluarga Tumanurung Wellangdilangi dari generasi ke generasi berkembang
terus, dan melalui proses , alamiah air laut yang tadinya di kampung
Mendatte menjadi surut, lalu timbullah Kota Endekan, Rappang, Pare-pare,
dan kota lainnya di Sulawesi Selatan. maka lairlah seorang putra di
Enrekang di kampung Lekkong dengan nama Puang Tomasadju ana Puang Kota
gelar La Tonro Puang Buttu.
Demikian Pula keluarga Tumanurung Tamborolangi di negeri Materi'Allo
(Tanah Toraja) berkemabng terus dari generasi ke generasi sehingga pada
suatu saat lahirlah seorang Puteri dari turunan Puang Makale/sangngalla
yanb bernama Puang Landorundum yang sangat cantik.
Sehingga
suatu ketika Puang Landorundum usai mandi si sungai Sa'dang, rambutnya
dimasukkan dalam kendi yang terbuat dari buah bila dan dialirkan melalui
sungai Sa'dang. sungai ini mempunyai pertemuan dengan sungai Mata Allo
di Endekan, dalam kesempatan selanjutnya Puang Tomasaju di Endekan
sempat mengambil kendi tersebut dan didapatkan berisi rambut yang
panjangnya 7 depa 7 hasta dan 7 jengkal.
Setelah itu Puang Tomasaju Puang Endekan ke I dari Endekan segera
menelusuri sungai sa'dang sampai ke negeri Matari'Allo (Tanah Toraja
Makale) dan sempat bertemu dengan puteri Puang Landorundum. sampai
akhirnyaa, keduanya dapat hidup berkeluarga dan mereka berdua meninggal
serta dikebumikan di kuburan Puang BAttu, Endekan. Dari perkawinan
Puang Tumasaju dan Puang Landorundum , maka mendekatlah kembali hubungan
keluarga Endekan Bambapuang (WAllangdilangi) denag keluarga
Tamborolangi (Puang Makale) di Negri Matari'Allo.
Hubungan Bone dan Gowa
Tidak ada kerajaan Bone kalau tidak ada kerajaan Luwu, tidak ada
kerajaan Luwu kalau tidak ada kerajaan Matari'Allo/Tanah toraja, dan
tidak ada kerajaan Matari'Allo/Tanah Toraja Kalau tidak ada kerajaan
Endekan dari Bambapuang.
Ini
berarti bahwa semua kerajaan yang ada di Selawesi Selatan masih
mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga kerajaan Bambapuang.
Di Kutip Dari :
Profil Raja & Pejuang Sulawesi Selatan
oleh: Hannabi Rizal, Zainuddin Tika, dan M. Ridwan Syam