Selasa, 06 Januari 2015

ASAL USUL KERAJAAN DURI (TALLU BATU PAPAN)


Kisah tentang kerajaan Duri diambil dari Transkripsi Lontara Duri (Rampunan Kada) oleh Syukur Abdullah yang diterbitkan pada tahun l986. Untuk mendapatkan keterangan tentang berbagai hal yang bersangkut paut tentang asal usul suatu komunitas atau suatu etnis tertentu, biasanya melalui keterangan berupa ceritera turun temurun atau laporan penelitian para ahli sebelumnya.Ketika  Indonesia masih terdiri dari kerajaan- kerajaan, dalam wilayah yang sekarang disebut Kabupaten Enrekang  sudah terdapat beberapa kerajaan yang masing-masing berdiri sendiri, merdeka berdaulat (onafhankelijk), yaitu: Maiwa, Enrekang, Duri, Kassa, dan Batulappa. Kerajaan-kerajaan tersebut terikat dalam satu federasi yakni “Federasi Massenrempulu atau Massere-Bulu” Wilayah Kerajaan Duri berada pada bagian utara daerah kabupaten Enrekang, berbatasan dengan Tana Toraja (utara), Luwu (timur), Enrekang, Maiwa (selatan) dan Letta (barat). Daerah tersebut merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 200 meter di atas permukaan laut. Walaupun banyak terdapat gunung batu namun tanahnya subur untuk pertanian sayur –mayur.Kisah munculnya istilah Duri dapat ditemukan kisahnya dalam Lontara Duri. Suatu ketika pedagang dari kerajaan Bone dalam perjalannya menuju tanah Luwu.singgah di kerajaan Duri. Mereka dijamu dengan buah cena’ duri. Karena buah tersebut sangat enak rasanya, mereka meminta untuk dibawakan kepada rajanya di Bone. Ketika raja menyantap buah cena duri tersebut, karena rasanya sangat enak dia bertanya darimana kalian memperolehnya. Para pedagang itu menjawab bahwa buah tersebut diperoleh dari  Duri. Mereka lupa menyebut  cena’, yang diingat hanya duri. Semestinya mereka menyebut bahwa buah itu namanya buah cena duri dan berasal dari  daerah yang sekarang namanya Duri.
           Sejak saat itulah  istilah  duri mulai dipakai untuk nama sebuah kawasan yang membentang  antara Gunung Batu Bolong di timur, salah satu puncak dari pegunungan Latimojong dan gunung Bamba Puang di barat. Berdasarkan catatan buku-buku pelajaran Geografi, Dewasa ini istilah Duri bukan hanya nama sebuah wilayah atau kawasan tetapi sudah merupakan nama sebuah sub etnis dalam suku Massenrempulu. Orang-orang yangberasal dari daerah ini lebih mengidentifikasi dirinya sebagai orang  Duri, bukan orang Enrekang, seperti yang lazim dikenal oleh penduduk Sulawesi Selatan.
sumber :http://fadimakmur.blogspot.com/2013/04/asal-usul-kerajaan-duri-tallu-batu-papan.html

SEJARAH ASAL MULA DURI

             Suatu legenda yang mengisahkan terbentuknya nama suatu daerah yang ada di hamparan bumi ini. Legenda yang dimaksud adalah suatu bangsa yang memiliki cerita atau memiliki data tertulis (Lontara istilah Bugis Makassar) atau hanya sekedar cerita turun temurun. Di Enrekangpun memiliki beberapa cerita dan kisah terbentuknya suatu wilayah yang memiliki  nama yang diambil dari kisah nyata peradaban manusia pada zamannya. Selumbung pakelalono atau dikenal dengan nama Nenek Matindo Dama yaitu sosok manusia pertama yang dipercaya untuk memandu setiap kegiatan kemasyarakatan di Wilayah Utara Timur Laut Enrekang. Daerah ini dikenal sebagai daerah pegunungan dengan persebaran penduduk yang belum mengenal peradaban sosial yang merata. Nenek Matindo Dama atau pemimpin pertama di wilayah kerajaan yang berpusat di Buntu lalono meliputi daerah kekuasaan yang sangat luas dengan batas pegunungan yang mengelilinginya mulai dari Uluwai, marena, Benteng Alla, Latimojong, Lakawan sampai perbatasan Bungin dan Baraka, karena tempatnya yang cukup strategis di daerah ketinggian, Buntu Lalono dipilih sebagai tempat bermukim pertama Nenek Matindo Dama atau dikenal sebagai Selumbung Lalono.
            Penghidupan mereka dan keturunanya hanya tergantung pada alam, maksudnya hanya memakan buah-buahan dan umbi-umbian yang tumbuh dengan sendirinya, berburu binatang juga hal yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhannya. Pada saat itu dengan menggunakan alat erburu atau peraatan pusaka andalannya yang dimaksud terbagi atas 3 jenis yaitu Penai (berbentuk pedang), Gajang (berbentuk keris) dan Tallu Buntik (sejenis pisau pusaka bercabang tiga). Juga secara darurat biasa dibuat dari bahan kayu yang runcing dan mambu runcing (barorang). Benda pusaka ini melekat setiap hari di tubuh Nenek Matindo Dama dan seekor ajing setianya, pada setiap kali pergi berburu dan kemana saja mengawasi wilayah kekuasaannya. Perjalanannya yang panjang dan sangat melelahkan, menyusuri sungai dari arah Parombeanke hilir, dalam tubuh Nenek Matindo Dama terluka akibat goresan batu cadas di sungai dan akhirnya beristirahat di suatu tempat sekaligus mencari dedaunan dan ramuan lainnya untuk mengobati lukanya tempat mengobati luka si Nenek Matindo Dama dinamakan Rogo (sekarang kampung tersebut diabadikan namanya).
            Lelah dan sakit asih terasa hingga sedikit pasrah dan akhirnya diputuskan hingga kembali ke istananya, kembali ke Buntu Lalono. Darah Nenek Matindo Dama yang menetes ke sungai konon kabarnya menjadi sesuatu yang sering diceritakan berubah menjadi pemangsa sungai yang dikenal dengan sebutan Kamandang dan itu hanya ada di Malua.
sumber : http://radzwan-anaklerenglatimojong.blogspot.com/2010/11/sejarah-asal-mula-duri.html

Sejarah Asal Mula Enrekang

Tomanurung dari Bambapuang
     Beberapa kerajaan di Sulawesi selatan dimasa silam umunya mengenal istilah Tomanurung sebagai orang yang dimitoskan berasal dari langit. dalam lontara Enrekang Masenrenpulu misalnya, Tomanurung di Bambapuang yang memerintah dan bersemayam di Puncak Gunung Bambapuang. zaman itu adalah jaman prasejarah, dimana gunung Bambapuang masih merupakan  gunung yang tertinggi di Sulawesi selatan.
    Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Enrekang, di puncak Gunung Bambapuang, Dewata menurunkan tiga orang Tumanurung yang diutus ke bumi dan berkembang menjadi keluarga besar.
  Ketiga Tamanurung tersebut masing-masing, Tamanurung Wellangdilangi, Tamanurung Tamborolangi, dan Tamanurung Embongbulan (wanita).
    Suatu hari, ketiganya meminta kepada dewata agar mereka dapat meninggalkan puncak gunung Bambapuang, sekaligus agar diberi bekal kehidupan di dunia.. oleh dewata ditetapkan Tamanurung Wellangdilangi tetap tinggal di puncak gunung Bambapuang dan kepadanya diberikan bekal untuk hidup di dunia berupa makanan yang cepat basi (Padi). Tumanurung Wellangdilangi kawin dengan Maccirangka.
  Tumanurrung Tamborolangi diberi kesempatan, boleh meninggalkan puncak Gunung Bambapuang dan memilih menuju negeri Matari' Allo Tanah Toraja ( Makale). Tamanurung Embongbulan (wanita) diberi kesempatan meninggalkan puncak Gunung Bambapuang dan memilih menyeberangi lautan menuju ke daerah Kaluppini. disana ia kawin dengan Palippada Fdan inilah yang menjadi turunan Sawerigading dan Raja-raja di Luwu (Palopo).
   Pada masa itu, di kaki Gunung Bambapuang (Kampung Mendatte), masih merupakan pantai yang bersebrangan dengan Kaluppini. Mengingat Tumanurung Embongbulan seorang putri, maka oleh dewata diberikan bekal makanan yang tidak dapat basi Tabaro ( terdapat di Luwu atau Palopo) dan diberikan pula bekal untuk pemebelaan diri sebagai Ahli Ilmu Sihir.
Adapun Tumanurung Wellangdilangi yang menetap di Puncak Gunung Bambapuang kawin dengan Maccirangka. Anak-anak mereka dapat kawin bersaudara dan ini berlangsung sampai generasi ketujuh.
   Setelah generasi ketujuh inilah mereka berkembang menjadi keluarga besar, maka oleh dewata diberikan ketetntuan sebagai berikut. "Tidak diperkenankan lagi kawin bersaudara tetapi boleh kawin dengan sepupuh-sepupuh sekali, apabila terjadi pelanggaran tersebut, maka akan terjadi musibah, dan Gunung Bambapuang akan Tumbang". Kelak dimana puncak Gunung Bambapuang tumbang, maka rakyat disana akan tetpa memengang ALUKTODOLO serta mereka menjadikan negeri kaya. dan ternyata gungng bambapuang tumbang persis sampai di negeri Matari'allo (Makale Tana Toraja) yang tetap memegang Aluktodolo sampai sekarang ini.
      Peristiwa pemerintahan dewata ini dikenal dengan sumpah :
"Endekan Tanah Digalla Tanah Dikabusunggi" atrinya: siapa saja yang memerintah di Enrekang harus bertindak arif dan bijaksana, hidup bersama rakyat dan apabila melanggar sumpahtersebut, maka ia akan takut, bingung, dan gelisa dalam menghadapi masa depannya.
Alkisah, pada generasi ketujuh, terjadi percintaan antara anak raja Dileluwa dan anak raja di Mendatte daerah pinggiran pantai, karena percintaan mereka sudah sangat intim sekali, maka disepakati oleh kedua belah pihak keluarga untuk diadakan perkawinan.
    Perkawinan berlangsung di Lurah, dibawah gunung bambapuang selama tujuh hari tujuh malam dengan pesta yang sangat meriah, sehingga kedua belah pihak keluarga semua turut bersuka cita.
     Pada hari ketujuh, saat pesta perkawinan sudah akan berakhir, kedua belah pihak keluarga baru mengingat akan pesan Dewata di puncak gunung bambapuang bahwa perkawinan bersaudara dilarang. Dari penelusuran silsilah keluarga pengantin tersebut, akhirnya diketahui dengan jelas bahwa kedua sejoli tersebut ternyata bersaudara satu bapak.
   Oleh karena itu, merupakan suatu pelanggaran dari perintah Dewata di puncak gunung bambapuang,maka tiba-tiba terjadi gempa. turun hujan deras, ombak besar dilaut disertai gemuruh kilat hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 hari 40 malam.
   Pada malam ke 40, Gunung Bambapuang yang menjulang tinggi ke langit itu tumbang. Puncaknya persis jatuh di negeri Matari'Allo ( Tanah Toraja). Akibat Pelanggaran tersebut, sehingga kerajaan yang ada di Bambapuang tenggelam pada waktu itu. sampai sekarang dinamakan kampung Lura, dan di bambapuang sekarang ini masih terdapat Danau Lurah.
Dalam bahasa Endekan, peristiwa tersebut diperingati dengan istilah " Lettomi Eran Di Langi Talllangmi Landongna Lura".
    Ketika Gunung Bambapuang tumbang semua penduduk lari ke negeri Matari'Alllo (Tanah Toraja). Dalam Perjalanan ketika berlari, penduduk atau binatang yang menoleh ke belakang melihat ke Gunung Bambapuang seketika itu pula berubah menjadi Batu. peninggalan tersebut sampai sekarang masih ada di kampung Kota, yaitu berdekatan dengan kampung Cakke Sossok.
     Penduduk yang lari dan sempat sampai di negeri Matare'Allo (Tanah Toraja) , mereka tetpa memegang ada Aluktodolo, adat leluhur yang berasal dari Puncak Gunung Bambapuang dengan melaksanakan acara Rambu Solo atau pesta kematian, acara ini dilaksanakan secara besar-besaran dan masih tampak berlangsung sampai saat ini.
    Keluarga Tumanurung Wellangdilangi dari generasi ke generasi berkembang terus, dan melalui proses , alamiah air laut yang tadinya di kampung Mendatte menjadi surut, lalu timbullah Kota Endekan, Rappang, Pare-pare, dan kota lainnya di Sulawesi Selatan. maka lairlah seorang putra di Enrekang  di kampung Lekkong dengan nama Puang Tomasadju ana Puang Kota gelar La Tonro Puang Buttu.
    Demikian Pula keluarga Tumanurung Tamborolangi di negeri Materi'Allo (Tanah Toraja) berkemabng terus dari generasi ke generasi sehingga pada suatu saat lahirlah seorang Puteri dari turunan Puang Makale/sangngalla yanb bernama Puang Landorundum yang sangat cantik.
Sehingga suatu ketika Puang Landorundum usai mandi si sungai Sa'dang, rambutnya dimasukkan dalam kendi yang terbuat dari buah bila dan dialirkan melalui sungai Sa'dang. sungai ini mempunyai pertemuan dengan sungai Mata Allo di Endekan, dalam kesempatan selanjutnya Puang Tomasaju di Endekan sempat mengambil kendi tersebut dan didapatkan berisi rambut yang panjangnya 7 depa 7 hasta dan 7 jengkal.
     Setelah itu Puang Tomasaju Puang Endekan ke I dari Endekan segera menelusuri sungai sa'dang sampai ke negeri Matari'Allo (Tanah Toraja Makale) dan sempat bertemu dengan puteri Puang Landorundum. sampai akhirnyaa, keduanya dapat hidup berkeluarga dan mereka berdua meninggal serta dikebumikan di kuburan Puang BAttu, Endekan. Dari perkawinan  Puang Tumasaju dan Puang Landorundum , maka mendekatlah kembali hubungan keluarga Endekan Bambapuang (WAllangdilangi) denag keluarga Tamborolangi (Puang Makale) di Negri Matari'Allo.

Hubungan Bone dan Gowa
    Tidak ada kerajaan Bone kalau tidak ada kerajaan Luwu, tidak ada kerajaan Luwu kalau tidak ada kerajaan Matari'Allo/Tanah toraja, dan tidak ada kerajaan Matari'Allo/Tanah Toraja Kalau tidak ada kerajaan Endekan dari Bambapuang.
Ini berarti bahwa semua kerajaan yang ada di Selawesi Selatan  masih mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga kerajaan Bambapuang. 

Di Kutip Dari :
Profil Raja & Pejuang Sulawesi Selatan
oleh: Hannabi Rizal, Zainuddin Tika, dan M. Ridwan Syam

Random